Daftar Blog Saya

Rabu, 27 Februari 2013

tugas kuliah TEORI ANTROPOLOGI


PARADIGMA DIFUSIONISME

Aliran jerman

Jerman bernama F. Graebner, dengan istilahnya yang disebut Kulturkreis atau wilayah kebudayaan. Kulturkreis adalah sekumpulan tempat di mana ditemukannya unsur-unsur yang sama, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan ini ditulis dalam buku yang menjadi sangat terkenal berjudul Methode der Ethnologie. Melalui metode ini, akan tergambar penyebaran atau disfusi kebudayaan, sehingga mampu merekonstruksi sejarah penyebaran umat manusia di muka bumi pada masa yang lampau. Hal ini dikenal dengan nama Kulturhistorie.
Gracbner (1877-1934) melakukan penelitian dengan menyusun dan mengelompokkan benda-benda (artefak) berdasarkan persamaan bentuk. Metode klasifikasi ini kemudian disebut dengan Kultrukreis. Metode Kulturkreis ini kemudian dikembangkan untuk memetakan secara lebih global kebudayaan manusia. Meskipun pekerjaaan klasifikasi sangat rumit mengingat banyaknya kebudayaanyang tersebar di seluruh dunia, akan tetapi, kenyataan ini justru melahirkan sebuah cita-cita untuk untuk merekonstruksi Kulturhistoire umat manusia dengan harapan akan nampak kembali sejarah persebaran bangsa-bangsa di muka bumi.

metode genealogi dari W.H.R Rivers, seorang dokter dan psikolog yang ahirnya tertarik akan antropologi. Metodenya berupa sebuah metode wawancara dalam penelitian lapangan untuk mengetahui kehidupan suatu masyarakat. Rivers meyakini dalam metodenya ini, bahwa untuk mengetahui secara menyeluruh kehidupan suatu masyarakat, diperlukan bahan amat lengkap lewat wawancara mengenai asal-usul nenek moyang setiap individu untuk kemudian dianalisa dan disangkutpautkan dalam berbagai peristiwa.
Rivers melakukan ekspedisi penting untuk sebuah eksperimen mengenai hubungan antara kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsayang mendiami daerah-daerah di sekitar Selat Torres, Irian Selatan dan Australia Utara. Dalam penelitiannya, Rivers mengembangkan metode wawancarabaru yang dikenal dengan Genealogical Method, metode yang mengklasifikasi asal-asal individu, yang kemudian menjadi teknik utama para antropolog dalam melakukan penelitian di daerah. Rivers berhasil mengumpulkan banyak bahan mengenai sistem kemasyarakatan suku-suku bangsa tersebut.
Rivers juga melakukan penelitian pada suku bangsa Toda yang tinggal di propinsi Mysore di India Selatan dan kemudian menghasilkan buku The Todas (1906). Dalam penelitian tersebut, Rivers mendapat banyak bahan mengenai sistem kekerabatan orang Toda. Dengan membandingkan bahan tersebut dengan apayang diperolehnya di daerah Malanesia. Ia kemudian mengembangkan konsep baru mengenai sistem-sistem kekerabatan yang dimuat dalam buku Notes and Queries on Anthropoloy (1912

 Elliot Smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949)yang mengemukakan teori-teori aneh. Teori aneh mereka misalnya tentang sejarah kebudayaan dunia bahwa pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusiyang besar yang berpangkal di Mesir, yang bergerak ke arah timur, daerah sekitar Laut Tengah, Afrika, kemudian bergerak ke India, Indonesia, Polinesia, dan ke Amerika. Teor ini kemudian disebut dengan Heliolithic Theory.

Heliolithic Theory bagi Elliot dan Perry didasarkan pada unsur-unsur penting kebudayaan Mesir Kuno yang tersebar ke daerah luas, tampak pada bangunan-bangunan batu besar (megalith), unsur religiusitas yang berpusat pada penyembahan matahari, atau helios. Pendapat ini menyimpulkan bahwa kebudayaan Mesir menjadi induk dan kemudian tersebar secara acak dan berkembang ke seluruh daerah di dunia di sepanjang waktu perjalanannya.
Teori Heliolithik tersebut kemudian dipergunakan dalam suatu penelitian besar oleh Perry yang mencoba menelusuri peta penyebaran unsur-unsur kebudayaan serta sebab-sebab dari difusi tersebut. Dalam persebarannya dari Mesir ke arah Timur Tengah sampai ke Amerika tengah dan Selatan, yang tentu saja melewati Indonesia, karena keberadaan pulau-pulaunya yang terletak di tenagh. Hasil penelitian Perry tersebut dipublikasikan ke dalam buku yang menadi sangat populer The Children of the Sun (1923).


Heliolithic Theory secara konseptual dapat dipahami sebagai sebuah gagasan tentang kekuatan determinan sebuah budaya. Kekuatan determinasi tersebut tumbuh melalui kemampuannya untuk beradaptasi. Argumen sesungguhnya masih menjadi preposisi, bahwa kelestarian budaya tertentu menegaskan kemampuan beradaptasiyang lebih baik. Kaplan dan Manners juga mengemukakan, bahwa semakin tinggi taraf adaptasi suatu budaya, akan makin banyak struktur yang dikandungnya dan struktur-struktur

Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa proses difusi tidak hanya dari sudut bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain di muka bumi saja tetapi terutama sebagai suatu proses di mana unsur-unsur kebudayaan dibawa oleh individu-individu dari suatu kebudayaan, dan harus diterima oleh individu-individu dari kebudayaan lain, maka terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu selalu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisahkan.







Aliran amerika

Frans Boas kemudian menghasilkan murid-murid yang terkenal dalam dunia atropologi seperti Kroeber, Godenweiser, Linton, Ruth Benedict, Ruth Banzel, Herskovit, Spier dan Murdock.
Bagi Frans, persoalan pokok mengenai studi difusi bukanlah mengenai adanya kontak antara kebudayaan tetapi yang penting adalah adanya kontak menimbulkan efek dinamis bagi perubahan kebudayaan dengan segala masalahnya.
1. Studi deskrpitif merupakan pengantar terhadap studi analitis tentang proses
2. Studi difusi harus dikerjakan dengan metode induktif
3. Studi difusi harus dimulai dengan menyelidiki tentang hal khusus menuju ke masalah umum.
4. Pendekatan terhadap studi mengenai proses dinamis harus dilihat dan ditinjau secara psikologis dan diperhatikan pula kedudukan serta sifat individu untuk mendapatkan gambaran tentang realitas kebudayaan.
Boas mengemukakan konsep tentang marginal survival bahwa pertumbuhan kebudayaan menyebabkan timbulnya unsur-unsur yang akan mendesak unsur lama ke arah pinggir sekeliling daerah pusat pertumbuhan
Konsep mengenai marginal survival ini merupakan benih bagi berkembangnya konsep mengenai cultural area yang dilakukan oleh Clark Wissler (1877-1947). Suatu culture area menggolongkan ke dalam satu golongan berpuluh-puluh kebudayaan yang satu dengan yang lainnya berbeda, berdasarkan persamaan dari sejumlah ciri-ciri mencolok dalam berbagai kebudayaan. Ciri itu tidak hanya unsur-unsur material namun juga unsur yang lebih abstrak.
Difusi merupakan konsep dasar tentang adanya kecenderungan alami terjadinya persebaran manusia serta kebudayaan yang menyertainya. Selain itu, realitas keberagaman etnis dan ras menunjukkan adanya unsur orsinilitas (endegenous) dalam setiap kelompok masyarakat. Adanya perbedaan tersebut pada dasarnya merupakan sebuah konstruk alami dari adanya perbedaan gerak perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Meskipun demikian, keberagaman budaya dalam perspektif yang lebaih luas justru terdapat unsur kesamaan bentuk budaya, bahkan yang secara geografis berjauhan. Hal ini telah menginspirasi para sarjana antropolog untuk mengkaji lebih jauh tentang adanya prinsip dasardari akar budaya yang dapat ditemui bahkan pada semua kelompok masyarakat.

            difusi menurut Kroeber menjelaskan tentang perubahan dalam suatu masyarakat dengan cara mencari asal atau ‘aslinya’ dalam masyarakatyang lain. Difusi pada tahapan yang ekstrim menekankan bahwa setiap pola tingkah laku atau unsur budaya yang baru itu tersebar dari satu sumber asli.

puisi


[belum dikasih judul]


Tak ku temukan lagi raut rasa jujur
Dalam kerangka kisah yang mungkin akan lapuk,
Yang terukir dimasanya,
Rasanya tak kuat untuk bersimbiosis
Hanya karena warna tak merona lagi

Pahamnya aku,
Menghancurkan dinding yang bersorak
Maknanya aku,
Nyaris berbisa, Kelabu kutemukan
Orde Yng begitu hampar
Membaur dan menusuki
Hingga mataku tertangisi

Kuingin masa bertahan
Kuharapkan kabar ini berpelangi
Enyah mimpiku,
Harus kutinggalkan agar dimensiku tak hancur
Dan rumusku dikenang

__ widiya trisna __
[26/02/13 : 17:50]

Sabtu, 23 Februari 2013

futu futu


Lageee naRsiiiiiiisss ne.
cuba pake hijab gaya gayaan.
17 februari 2013

sosiologi di indonesia

 Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ko Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Pernag Dunia ke dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.

**net

Minggu, 17 Februari 2013

pengantar sosiologi pendidikan


SOSIOLOGI PENDIDIKAN (Sebuah Pengantar)
A. Pengertian Sosiologi Pendidikan
Perubahan tatanan sosial kehidupan masyarakat Eropa pada sekitar awal abad ke-20 menyebabkan manfaat sosiologi menjadi penting dalam mendampingi proses-proses pendidikan di Eropa.
Perkembangan tersebut merupakan efek dari revolusi sosial di berbagai penjuru wilayah Eropa yang memicu akselerasi perubahan arah perkembangan masyarakat Eropa. Era transisi perubahan sosial tersebut menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis yang tak terduga-duga kedatangannya, antara lain merebaknya keraguraguan akan nilai dan tatanan normatif yang telah mapan mengalami erosi jika tidak dilakukan penguatan orientasi.
Bantuan ilmu sosiologi dengan segala komponen konsepsionalnya mendapat sambutan positif dari kalangan praktisi pendidikan, sebagai wujud alternatif untuk memperkuat ketahanan sosial melalui pendidikan. Manifestasi tersebut ditandai dengan kelahiran sosiologi pendidikan sebagai produk keilmuan baru.

Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan ekonomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan memandang gejala pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan pribadi, maka sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.
Dilihat dari objek penyelidikannya sosiologi pendidikan adalah bagian dari ilmu sosial terutama sosiologi dan ilmu pendidikan yang secara umum juga merupakan bagian dari kelompok ilmu sosial. Sedangkan yang termasuk dalam lingkup ilmu sosial antara lain: ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu pendidikan, psikologi, antropologi dan sosiologi. Dari sini terlihat jelas kedudukan sosiologi dan ilmu pendidikan.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan telah memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Objek penelitian sosiologi pendidikan adalah tingkah laku sosial, yaitu tingkah laku manusia dan institusi sosial yang terkait dengan pendidikan. Tingkah laku itu hanya dapat dimengerti dari tujuan, cita-cita atau nilai-nilai yang dikejar. Sebagaimana dalam terminologi sosiologi, sosiologi pendidikan berbicara tentang pandangan tentang kelas, sekolah, keluarga, masyarakat desa, kelompok- kelompok masyarakat dan sebagainya, masing-masing terangkum dalam wilayah suatu sistem sosial. Tiap-tiap sistem sosial merupakan kesatuan integral yang mendapat pengaruh dari :
(1) sistem sosial yang lain,
(2) lingkungan alam,
(3) sifat-sifat fisik manusia dan
(4) karakter mental penghuninya.
Sosiologi pendidikan telah memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Menurut Dodson (dalam Faisal dan Yasik, 1985) sosiologi pendidikan mempersoalkan pertemuan dan percampuran dari lingkungan sekitar kebudayaan secara totalitas sedemikian rupa sehingga terbentuknya tingkah laku tertentu dan sekolah atau lingkungan pendidikan dianggap sebagai bagian dari total cultural miliu. Selaras dengan pendapat di atas, E. Goerge Payne (dalam Faisal dan Yasik, 1985) yang merupakan bapak sosiologi pendidikan memberikan penekanan bahwa dalam lembaga-lembaga, kelompok-kelompok sosial dan proses sosial terdapat hubungan yang saling terjalin, di mana di dalam interaksi sosial itu individu memperoleh dan mengorganisasikan pengalamannya.
Penjelasan tersebut melekat kuat aspek sosiologisnya. Sementara dari segi paedagogisnya, bahwa seluruh individu dan masyarakat dari anak-anak sampai orang dewasa, kelompok-kelompok sosial dan proses-proses sosialnya, berlangsung di seputar sistem pendidikan yang selalu bergerak dinamis.

B. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Masalah-masalah yang diselidiki sosiologi pendidikan antara lain meliputi pokok-pokok berikut ini.
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat
a. Hubungan pendidikan dengan sistem sosial atau struktur sosial,
b. Hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan,
c. Fungsi pendidikan dalam kebudayaan,
d. Fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo, dan
e. Fungsi sistem pendidikan formal bertalian dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya.
2. Hubungan antarmanusia di dalam sekolah Lingkup ini lebih condong menganalisis struktur sosial di dalam sekolah yang memiliki karakter berbeda dengan relasi sosial di dalam masyarakat luar sekolah, antara lain yaitu:
a. Hakikat kebudayaan sekolah sejauh ada perbedaannya dengan kebudayaan di luar sekolah, dan
b. Pola interaksi sosial dan struktur masyarakat sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan kekuasaan, stratifikasi sosial dan pola kepemimpinan informal sebagai terdapat dalam clique serta kelompok-kelompok murid lainnya.
3. Pengaruh sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di sekolah/lembaga pendidikan
a. Peranan sosial guru-guru/tenaga pendidikan,
b. Hakikat kepribadian guru/ tenaga pendidikan,
c. Pengaruh kepribadian guru/tenaga kependidikan terhadap kelakuan anak/peserta didik, dan
d. Fungsi sekolah/lembaga pendidikan dalam sosialisasi murid/peserta didik.
4. Lembaga Pendidikan dalam masyarakat Di sini dianalisis pola-pola interaksi antara sekolah/ lembaga pendidikan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam masyarakat di sekitar sekolah/lembaga pendidikan.
Hal yang termasuk dalam wilayah itu antara lain yaitu :
a. Pengaruh masyarakat atas organisasi sekolah/lembaga pendidikan,
b. Analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistemsistem sosial dalam masyarakat luar sekolah,
c. Hubungan antarsekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan, dan
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat berkaitan dengan organisasi sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam keseluruhan kehidupan masyarakat.

B. PERANAN SOSIOLOGI TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
Dalam pengertian sederhana, sosiologi pendidikan memuat analisis-analisis ilmiah tentang proses interaksi sosial yang terkait dengan aktivitas pendidikan baik dari lingkup keluarga, kehidupan sosio-kultur masyarakat maupun pada taraf konstelasi di tingkat nasional. Sehingga dari sini bisa di dapat sebuah gambaran objektif tentang relasi-relasi sosial yang menyusun konstruksi total realitas pendidikan di negara kita. Sampai pada pemahaman tersebut segala bentuk wawasan dan pengetahuan sosiologis guna membedah tubuh pendidikan kita menjadi perlu untuk dibahas agar proses-proses pengajaran tidak bias ke arah yang kurang relevan dengan kebutuhan bangsa.
Di sisi lain, jika perhatian kita tertuju pada lembaran sejarah perkembangan pendidikan masyarakat Indonesia, produk kemajuan sosial, meningkatnya taraf hidup rakyat, akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapan inovasi teknologi merupakan bagian dari prestasi gemilang hasil jerih payah lembaga pendidikan kita dalam upaya memajukan kehidupan bangsa Indonesia. Meningkatnya jumlah kaum terpelajar telah menjadi bahan bakar lajunya lokomotif kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Akan tetapi, beberapa kendala yang melingkari dunia pendidikan dalam kaitan dengan menurunnya kualitas output pendidikan kita menjadi bukti bahwa wajah persekolahan kita memerlukan banyak perbaikan. Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi eksistensi dan keberlangsungan pendidikan di negara kita maka topik ini akan mengarahkan lingkup kajian sosiologisnya kepada hakikat peran dan fungsi lembaga sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Tiga sub-judul berikutnya akan menindaklanjuti fokus pembahasan dengan titik tekan yang lebih spesifik. Pada sub-judul pertama, banyak digali tentang hubungan-hubungan sosial di dunia pendidikan dalam wadah organisasi formal. Di sini kriteria sekolah sebagai salah satu wujud organisasi formal ditinjau dari kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses mencapai tujuan pendidikan. Pada sub judul kedua lebih menyoroti konteks transaksi pendidikan di ruang kelas. Hal ini ditekankan, sebab ruang kelas merupakan representasi dari proses-proses pendidikan yang sesungguhnya, karena di dalamnya telah melibatkan komponen-komponen belajar mengajar secara langsung. Sedangkan pada sub judul yang ketiga, tinjauannya bertolak dari kenyataan bahwa sekolah tidak bisa lepas dari hubungan wadah eksternalnya. Kondisi sosio-kultur masyarakat tidak bisa tidak merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap proses-proses pendidikan di sekolah.
Tiga batasan tinjauan di atas akan dipaparkan sebagai upaya untuk menyajikan beberapa manfaat analisis sosiologis terhadap dunia pendidikan.

A. Sekolah sebagai Organisasi
Tempo dulu masyarakat sederhana belum mengenal lembaga- lembaga resmi yang mengatur penyaluran kebutuhankebutuhan hidup mereka. Contohnya masyarakat Indian yang tidak perlu meminta bantuan lembaga sekolah untuk mengajarkan kepandaian memanah kepada generasi penerusnya. Bagi mereka, cukup dengan uluran tangan dari para ayah dan saudara tuanya maka bisa dipastikan hampir seluruh remaja-remaja muda mampu menguasai teknik memanah dari tingkat dasar sampai kategori mahir (Horton dan Hunt, 1999: 333). Seiring dengan bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks, sehingga pada fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan–kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu arah kehidupan di masa yang akan datang.
Beberapa faktor telah melatar belakangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola alokasi pemenuhan kebutuhan di antaranya, (1) pertumbuhan jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat penguasaan dan ketersediaan sumber daya alam, (2) kompleksnya pranata kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi terapan, dan (3) implikasi tingkat akal budi dan mentalitas manusia yang kian rasional. Secara singkat, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganisasikan perangkat perangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan ditangani secara langsung oleh masing-masing keluarga. Perlunya pihak lain yang secara khusus mengurusi organisasi dan apresiasi pengetahuan serta mengupayakan untuk ditransformasikan kepada para generasi muda agar terjamin kelestariaannya merupakan cetak biru kekuatan yang melatarbelakangi berdirinya sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Walaupun wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara, keberadaan sekolah merupakan salah satu indikasi terwujudnya masyarakat modern. Dalam hal ini para sosiolog telah melakukan ikhtiar ilmiah untuk menentukan taraf evolusi perkembangan masyarakat manusia. Dimulai dari Auguste Comte (1798-1857) dengan karyanya yang berjudul Course de philosophie Positive (1844). Beliau menekankan hukum perkembangan masyarakat yang terdiri dari tiga jenjang, yaitu jenjang teologi di mana manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal yang bersifat adikodrati. Taraf perkembangan selanjutnya disusul pencapaian manifestasi kemampuan manusia untuk menangkap fenomena lingkungan dengan menyandarkan pada kekuatan-kekuatan metafisik atau abstrak. Hingga pada level tertinggi, taraf positif. Iklim kehidupan demikian ditandai dengan prestasi kemampuan manusia untuk menjelaskan gejala alam maupun sosial berdasar pada deskripsi ilmiah melalui pemahaman kekuasaan hukum objektif (Sunarto, 2000 : 3).
Dari pengertian tersebut perwujudan manusia positivis hanya mampu ditopang oleh orientasi pendidikan yang sudah terlembaga secara mantap melalui aplikasi fungsi sekolah-sekolah modern. Di lain pihak, tak kalah pentingnya buah pikiran Emile Durkheim (1858-1912) berupa buku yang berjudul The Division of Labour in Society (1968) juga menganalisis kecenderungan masyarakat maju yang di dalamnya terdapat pembagian kerja dalam pemetaan bidang-bidang ekonomi, hukum, politik pendidikan, kesenian dan bahkan keluarga. Gejala tersebut merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi industri yang di dalamnya memerlukan memerlukan spesialisasi peran untuk mengusung keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup para anggotanya (Johson, 1986 : 181-184).
Sekali lagi ilustrasi di atas hanya dapat tercermin pada konteks organisasi lembaga pendidikan yang telah mampu memproduk manusia profesional dengan spesifikasi keahlian. Sedangkan untuk mewujudkan figur-figur manusia itu hanya mampu dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern.
Dari kedua pernyataan ilmiah para tokoh sosiologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan sekolah yang mewarnai dunia kehidupan manusia saat ini merupakan sebuah keniscayaan peradaban modern yang lekat dengan renik-renik pergulatan ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi mutakhir. Sementara melihat konteks sosial yang terbentuk dapat dijawab pula sekolah juga masuk dalam kategori-kategori organisasi pada umumnya yang mengemban konsekuensi-konsekuensi organisatoris. Oleh karena itu keberadaan sekolah patut dimasukkan sebagai salah satu organisasi yang memanfaatkan mekanisme birokratis dalam mengelola kerja-kerja institusinya. Beberapa prinsip penerapan birokrasi juga terdapat dalam lembaga sekolah antara lain:
1. Aturan dan prosedur yang ketat melalui birokrasi,
2. Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda,
3. Pelaksanaan adminstrasi secara professional,
4. Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara bertanggung jawab,
5. Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
6. Pengembangan hubungan yang bersifa formal dan impersonal (Robinson, 1981: 241).

Sekolah memang tidak menggunakan semua ketentuanketentuan di atas secara ketat dan linear. Kaitan dengan hal tersebut, Bidwell ,1965 (dalam Robinson, 1981). berpendapat bahwa sekolah mempunyai ciri “struktur yang longgar”. Yang dimaksud dengan kelonggaran struktural oleh Bidwell adalah prasyarat prasyarat mutlak dari kekuatan-kekuatan struktural tidak harus dilaksanakan sepenuhnya oleh guru dalam menerapkan metode belajar-mengajar kepada para siswanya. Tiap guru mempunyai kebebasan tertentu untuk menentukan bagaimana ia mengajar di kelas, walaupun perangkat-perangkat materinya telah ditentukan oleh kurikulum di atasnya Masih dalam lingkup sekolah sebagai organisasi formal, beberapa ahli telah menyajikan pranata-pranata manajemen yang berbeda-beda dalam menerapkan fungsi manajemen di sekolah (Robinson, 1981). Di antaranya adalah sebagai berikut.

1.    Manajemen Ilmiah
Pokok-pokok dari manajemen ilimiah antara lain:
- Menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan tepat,
- Menganalisis dan membandingkan proses-proses yang telah dicapai, dan
- Menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verifikasi serta menggunakannya sebagai kriteria tunggal Implikasinya jelas, penerapan kriteria tunggal bagi sekolah demi mencapai maksimalisasi hasil-hasil belajar secara efisien dan efektif. Tampak jelas jenis manajemen ini berkarakter mekanistis, ketat, mengutamakan hasil kuantitatif, serta cenderung mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di dalam prosesnya.
2.    Sistem Sosio-teknis
Sebagai sistem sosio-teknis, sekolah mencakup banyak hal yang menjadi input organisasi, namun stafnya akan “mengetahui” sifat input-inputnya. Dengan begitu sekolah dapat menentukan instrumen-instrumen pengolahan demi menjamin hasil yang optimal. Sampai di sini definisi sosio-teknis memberikan titik tekan pada pengamatan dan pengelompokan jenis-jenis masukan dalam sekolah lalu ditindaklanjuti dengan cara-cara yang relevan dengan “bahan mentah” tersebut. Manajemen sosio-teknis masih menggunakan prinsip manajemen formal, sehingga beberapa unsur yang melekat pada prinsip manajemen ilmiah juga dimiliki
oleh sistem sosio-teknis.
3. Pendekatan Sistemik
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah bentuk teori sistem. Ciri kahs pendekatan ini adalah pengakuan adanya bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada keseluruhan. Hubungan timbal balik itu mengisyaratkan detail bagian yang cukup kompleks dan proses interaksi secara keseluruhan dalam sebuah organisasi. Implikasi lain, batas-batas antarbagian harus diketahui dengan tegas dalam mengidentifikasi komponen-komponen lembaga sekolah . Secara internal model teori sistem, mengadopsi penanganan lembaga formal pada umumnya untuk menggerakkan roda organisasi. Akan tetapi pendekatan ini juga memperhatikan sistem sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah berusaha pula menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri setempat, pendapat profesional dan kebijaksanaan pendidikan.
4. Pendekatan Individual
Baik pendekatan manajemen maupun pendekatan sistem cenderung “membendakan” organisasi. Organisasi dipandang seakan-akan seperti makhluk besar yang mengatasi dan mengecilkan peran anggota-anggotanya (terutama para murid). Sebagai antitesisnya, maka pendekatan individual mengakomodasi nilainilai kemanusiaan dalam organisasi. Akan tetapi pada perkembangannya pendekatan individual memiliki dua keompok pandangan yakni:

a. Teori Pasif
Pandangan yang menekankan pengamatan input pendidikan secara kolektif. Di mana sudut terpenting yang harus diperhatikan oleh sekolah adalah proses kematangan pribadi para siswa yang harus difasilitasi, diakomodasi kebutuhannya dan dibimbing menuju kedewasaan. Oleh karena itu, proporsi organisasi sekolah yang cenderung mekanistis harus dipola menjadi flksibel agar para anggotanya bisa berekspresi dengan optimal (Robinson, 1981: 252).

b. Teori Aktif
Konstruksi pendekatan yang mengutamakan kemampuan aktif para siswa untuk menginterpretasikan makna-makna normatif dan tindakan-tindakan yang diharapkan berdasarkan iklim kesadaran mereka. Menurut Silverman (1970) proses sosialisasi di sekolah bukanlah imperatif-imperatif moral yang memaksa akan tetapi justru sekolah menjadi “pembantu” para siswa dalam mendokumentasi dan memantapkan makna-makna kehidupan yang didapat oleh mereka sendiri. Pendekatan ini sangat kental dengan pengaruh aliran fenomenologis dalam sosiologi. Oleh karena itu teori aktif bermaksud menekankan makna-makna tafsiran budaya yang didapat oleh individu-individu di dalam mempersepsikan fungsi sekolah bagi mereka (Robinson, 1981 : 254).
Berbagai pandangan di atas telah menandaskan aspek-aspek penting yang berperan dan berinteraksi di dalam sekolah. Pada kenyataannya seluruh konsep manajemen yang ditekankan oleh masing-masing ahli tersebut selalu tercantum di dalam sekolah. Tentunya fungsionalisasi masing-masing model manajemen di atas tergantung pada konteks pandangan manusia yang mengamatinya. Apabila pada aspek makro maka dominasi gabungan fungsi manajemen sistem, sosio-teknis dan ilmiah lebih berperan penting dalam membantu kerja penglihatan intelektual kita. Berbeda pada dimensi yang lebih mikro, maka tipe ideal pendekatan individual adalah aspek yang harus diperhatikan dalam menelah unsur-unsur yang bermain di dalam sekolah.
Dalam hal ini kita akan lebih condong mengamati organisasi sekolah dalam skala makronya. Analisis sosial yang muncul seputar sekolah banyak mengupas konflik-konflik antar peranan yang terjadi di lembaga sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Davies, 1973 ( dalam Robinson, 1981 : 250) bahwa lembaga pendidikan sering dirasuki oleh nilai-nilai yang terkadang bertentangan antarpihak baik dari para guru, orang tua, staf birokrat, siswa, maupun pihak aparat pimpinan sekolah.
Dari sini analisis yang bisa disajikan untuk mengamati keberadaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas pendidikannya terbagi menjadi dua lahan persoalan yakni:

1.        Penafisiran multi-konsep tentang tujuan organisasi beserta alokasi peran yang sinergis
Sudah menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk menetapkan tujuan lembaga. Berbeda dengan organisasi pada umumnya, sekolah memiliki ciri khas yang agak unik, khususnya dari objek yang menjadi tujuannya. Dengan menetapkan posisi peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali peserta didik seperangkat pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah mengumandangkan jenis tujuan yang bersifat abstrak. Hal ini tentu saja berbeda dengan lembaga lain yang jelas-jelas memiliki objek tujuan konkrit. Contohnya lembaga perusahaan, tentunya bagi siapa saja akan jelas memahami arti “mencari keuntungan maksimal” bagi perusahaan. Baik itu manajer pemasaran, direktur pabrik, buruh angkutan, sopir, sampai tenaga administrasi akan jelas mengartikan definisi tujuan tersebut. Sementara sekolah memiliki tujuan yang bersifat multi-penafsiran dan agak kabur. Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak penafsiran para praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk menyatukan pemahaman makna tujuan pendidikan antar posisi.
Berdasarkan struktur organisasi yang terbentuk, guru bertugas sebagai pelaksana pengajaran kepada siswa, supervisor berfungsi membina para guru dan tugas formal administratur sekolah ialah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sekolah. Masing-masing pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungan dengan posisi lain. Sudah tentu kompleksitas peranan menimbulkan nilai sosial yang berbeda-beda dan apabila ditarik dalam suatu prospek tujuan maka akan melibatkan bermacam-macam penafsiran. Selain objek tujuan yang sarat nilai, posisi-posisi peran yang cukup kompleks di lingkup internal, maka sebuah sekolah akan berhadapan langsung dengan komponen nilai-nilai lain di luar lingkungannya. Spesifikasi tujuan yang telah ditetapkan oleh sekolah ternyata harus bersinggungan erat dengan alokasi peran pendidikan di luar sekolah, terutama keluarga.
Berkaitan dengan hal tersebut, suatu observasi ilmiah yang dilakukan oleh Universitas Havard telah menunjukkan hasil yang cukup dramatis. Setelah diteliti, para guru di sekolah-sekolah New England memiliki pandangan yang berbeda tentang tujuan pendidikan, begitu juga antar guru dengan kepala sekolahnya, selain itu indikasi serupa ditunjukkan perbedaan nilai antar administratur dengan Badan Pertimbangan Sekolah. Lebih jauh bukti penelitian juga menunjukkan sumber utama yang melahirkan konflik di kalangan praktisi sosial tentang tujuan dan program-program sekolah (Faisal, 1985: 69).
Dipandang dari sudut tujuannya ternyata lembaga sekolah harus melakukan bermacam-macam proses penyatuan pandangan baik dari wilayah internal maupun asumsi-asumsi publik di lingkup eksternal. Telaah sosiologis telah memberikan sumbangan konseptual untuk membedah objek tujuan sekolah dalam pola pola hubungannya dengan pihak internal maupun luar lembaga
sekolah.

2. Kompleks permasalahan di sekitar orientasi lintas posisi dalam koridor efisiensi dan efektivitas
Kompleks pertentangan tersebut merupakan derivasi dari perangkat-perangkat manusia yang memiliki peran-peran spesifik di lembaga sekolah. Banyak buku teks yang mengemukakan tentang peranan guru dan adminsitratur pendidikan seolah-olah harmonis dan serba sinergis. Padahal kenyataan membuktikan, salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status pekerjaannya. Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab dan tugas sekolah yang berhubungan dengan siswa selalu dilimpahkan kepada seorang guru. Sedangkan pemberitaan fungsifungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan konseling, pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban dan kedisplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para siswa.
Dalam analisis sosiologis, konflik peranan di lingkup internal sekolah disebabkan pada rangkaian hak dan kewajiban yang mempengaruhi harapan para pemegang status pekerjaan. Ruangruang
kesadaran peran tersebut telah terpecah belah pada akumulasi integrasi yang terkotak-kotak pada masing-masing kelompok pekerjaan. Dalam waktu yang sama kepala sekolah mengharapkan para guru selalu tertib dalam melaksanakan pengajaran. Sementara guru sendiri selalu berkeinginan memberikan ragam materi yang selengkap-lengkapnya kepada para siswa. Hal ini tentu bertentangan dengan asumsi umum para siswa yang jelas-jelas berharap agar para guru tidak terlalu banyak menyodorkan materi yang harus mereka hafalkan. Hal tersebut tentunya semakin menjauhkan kesadaran warga sekolah mengenai hakikat mendasar dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan. Mereka semakin jauh terjerumus pada labirin-labirin pertentangan seputar ritual-ritual teknis pemenuhan kebutuhan organisasional. Dari sini tujuan awal penerapan adminstrasi pendidikan untuk mempermudah lembaga sekolah dalam menjalankan fungsi-fungsi edukatif beralih menjadi raksasa permasalahan yang selalu menggelayuti mentalitas warganya. Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori sosiologi cukup strategis guna memberikan gambaran komperhensif tentang gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan pertentangan antarperan. Dengan begitu, para praktisi pendidikan diharapkan memiliki bahan mentah yang lengkap mengenai polapola sosial yang tersusun di dunia pendidikan formal beserta varian-varian permasalahannya.

B. Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati sub-topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas. Dimulai dari pengamatan Parson yang mengetengahkan argumentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Berkaitan dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat (Robinson, 1981 : 127).
Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh seperti Delamont, Lewin, Lippit, White dan H.H. Anderson adalah figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antarguru dan murid. Selaras dengan hal tersebut, Withall, 1949, yang memanfaatkan karya-karya pendahulunya mencoba menemukan pengaruh situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara metode pengajaran yang cenderung teacher-centred dengan tipologi pembelajaran Learner-centred, dengan beranggapan bahwa tipe yang kedua merupakan cara yang paling efektif untuk kegiatan
pembelajaran di kelas (Robinson, 1981 : 129).
Dalam satu rangkaian penelitian Flanders,1967 memperkuat studi tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya, semakin besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan strategi-strategi belajarnya sendiri (Robinson, 1981 : 130).
Inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh psikologisnya kepada para siswa. Hal ini terkait erat dengan metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk menangkap segala hal yang terpola di dalam aktivitas ruang kelas.
Yang termasuk hasil penelitian di lingkup kategori interpretatif adalah analisis Waller. Bagi Waller, pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan kontrol sosial (Robinson, 1981: 135). Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang fungsi sekolah yang mempengaruhi alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen mengamalkan kriteria-kriteria penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah.
Analisis lain juga mengungkap bahwa sumber ketegangan antarguru dan siswa berasal dari dualisme ketegangan peran guru di dalam kelas. Sebagai bawahan kepala sekolah seorang guru harus menerapkan ketentuan administratif sekolah secara ketat kepada murid-murid, namun di lain pihak tanggung jawab moral sebagai pendidik yang sarat dengan kebijaksanaan akan menghalanghalangi penerapan sanksi kepada siswa tersebut.
Sebagai sistem sosial tentunya di dalam kelas telah terbentuk konfigurasi sosial di dunia pergaulan siswa. Dari sini tampak konsep diferensiasi mengacu pada praktik organisasi penentuan penghuni kelas berdasarkan prestasi-prestasi siswa. Tentunya implikasi dari pengelompokan ini akan berakibat terbentuknya polarisasi antarkelompok. Baik itu kelompok si bodoh, si kaya, si pandai, dan si pemalu. Apabila guru mengetahui fakta tersebut dan mampu mengelola interaksi antarkelompok maka proses penangkapan pengetahuan menjadi semakin dinamis dan cukup kaya. Sebaliknya apabila guru cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian justru semakin mempertegas potensi disintegrasi antarsiswa. Pada umumnya guru secara gegabah juga dengan mudah menuruti subjektifitas perasaannya untuk menuruti kelompok-kelompok siswa yang menyenangkan perasaannya. Sekali lagi jika hal terakhir yang terjadi maka kecemburuan sosial malah menjadi iklim pergulatan sosial di lingkungan kelas.
Patut ditambahkan, analisis sosiologis juga mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap seseorang dengan latar belakang kelompok aspirasi yang digandrunginya. Kelompok-kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan di dalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya dari hasil analisis di atas, dapat memberikan wawasan sosiologi kelas kepada pengajar agar proses pendidikan dan pembinaan siswa lebih efektif (Faisal dan Yasik, 1985 : 76).

C. Lingkungan Eksternal Sekolah
Kita tahu bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah eksternal yang dihuni oleh kumpulan manusia bernama masyarakat. Gejala timbal balik baik dari sekolah kepada masyarakat maupun sebaliknya merupakan realitas keseharian yang akan selalu terjadi. Keberadaan sekolah di lingkungan masyarakat kota akan jelas mempengaruhi orientasi pendidikan tersebut dibanding dengan sekolah yang terletak di lereng gunung. Baik dari segi kuantitas peserta didik, maupun kompleksitas kegiatan yang terjadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di sekolah. Tentunya tidak mungkin, sekolah ”lereng gunung” mengembangkan ekstrakulikuler yang luar biasa padat dan wajib diikuti oleh seluruh siswa.
Selain itu aspek kelas sosial juga memberikan pengaruh evaluasi belajar yang dilakukan oleh seorang guru. Hasil sebuah pengamatan ilmiah menegaskan ada hubungan kuat antara status orang tua siswa dengan prestasi akademis. Selain itu mobilitas aspirasi siswa, kecenderungan putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, tingkah laku pacaran siswa serta pola persahabatan di kalanngan siswa tampaknya juga dipengaruhi oleh karakter sosial ekonomis orang tua siswa (Faisal dan Yasik, 1985 : 77).
Kontribusi berikutnya adalah benturan konflik antarperan tenaga kependidikan dengan posisi-posisi lain di masyarakat. Getzel dan Guba menemukan bahwa banyak harapan-harapan yang terkait dengan posisi guru, pada kenyataannya telah berbenturan dengan harapan posisi lain di luar persekolahan (Faisal dan Yasik, 1985 : 79). Dampak dari konflik ini kadang mengganggu stabilitas individu atau bisa jadi dapat meluas pada segi-segi materiil di lingkungan sekolah.
Seorang guru olah raga yang sedang menjadi wasit pertandingan sepak bola antar-kecamatan tentunya akan menghadapi tuntutan masyarakat mengenai kemungkinan diizinkannya penggunaan fasilitas sekolah. Akan tetapi dua hari yang lalu sang guru tersebut baru saja mendapat himbauan keras dari kepala sekolah agar berhati-hati dalam menjaga perlengkapan olah raga milik sekolah. Peringatan tersebut bukan tak beralasan, akan tetapi didukung sebuah fakta tentang peristiwa kehilangan beberapa peralatan seminggu yang lalu. Fenomena tersebut jelas menyokong suatu posisi bahwa konflik antarperanan di dalam sekolah dengan lingkungan eksternal merupakan sumber potensial utama dari lahirnya ketegangan di kalangan praktisi pendidikan, khususnya guru.
Melalaui analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara realistis peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan kekuatan analisis-analisis sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing.

**berbagai Sumber

pengantar sosiologi pendidikan


SOSIOLOGI PENDIDIKAN (Sebuah Pengantar)
A. Pengertian Sosiologi Pendidikan
Perubahan tatanan sosial kehidupan masyarakat Eropa pada sekitar awal abad ke-20 menyebabkan manfaat sosiologi menjadi penting dalam mendampingi proses-proses pendidikan di Eropa.
Perkembangan tersebut merupakan efek dari revolusi sosial di berbagai penjuru wilayah Eropa yang memicu akselerasi perubahan arah perkembangan masyarakat Eropa. Era transisi perubahan sosial tersebut menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis yang tak terduga-duga kedatangannya, antara lain merebaknya keraguraguan akan nilai dan tatanan normatif yang telah mapan mengalami erosi jika tidak dilakukan penguatan orientasi.
Bantuan ilmu sosiologi dengan segala komponen konsepsionalnya mendapat sambutan positif dari kalangan praktisi pendidikan, sebagai wujud alternatif untuk memperkuat ketahanan sosial melalui pendidikan. Manifestasi tersebut ditandai dengan kelahiran sosiologi pendidikan sebagai produk keilmuan baru.

Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan ekonomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan memandang gejala pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan pribadi, maka sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.
Dilihat dari objek penyelidikannya sosiologi pendidikan adalah bagian dari ilmu sosial terutama sosiologi dan ilmu pendidikan yang secara umum juga merupakan bagian dari kelompok ilmu sosial. Sedangkan yang termasuk dalam lingkup ilmu sosial antara lain: ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu pendidikan, psikologi, antropologi dan sosiologi. Dari sini terlihat jelas kedudukan sosiologi dan ilmu pendidikan.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan telah memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Objek penelitian sosiologi pendidikan adalah tingkah laku sosial, yaitu tingkah laku manusia dan institusi sosial yang terkait dengan pendidikan. Tingkah laku itu hanya dapat dimengerti dari tujuan, cita-cita atau nilai-nilai yang dikejar. Sebagaimana dalam terminologi sosiologi, sosiologi pendidikan berbicara tentang pandangan tentang kelas, sekolah, keluarga, masyarakat desa, kelompok- kelompok masyarakat dan sebagainya, masing-masing terangkum dalam wilayah suatu sistem sosial. Tiap-tiap sistem sosial merupakan kesatuan integral yang mendapat pengaruh dari :
(1) sistem sosial yang lain,
(2) lingkungan alam,
(3) sifat-sifat fisik manusia dan
(4) karakter mental penghuninya.
Sosiologi pendidikan telah memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Menurut Dodson (dalam Faisal dan Yasik, 1985) sosiologi pendidikan mempersoalkan pertemuan dan percampuran dari lingkungan sekitar kebudayaan secara totalitas sedemikian rupa sehingga terbentuknya tingkah laku tertentu dan sekolah atau lingkungan pendidikan dianggap sebagai bagian dari total cultural miliu. Selaras dengan pendapat di atas, E. Goerge Payne (dalam Faisal dan Yasik, 1985) yang merupakan bapak sosiologi pendidikan memberikan penekanan bahwa dalam lembaga-lembaga, kelompok-kelompok sosial dan proses sosial terdapat hubungan yang saling terjalin, di mana di dalam interaksi sosial itu individu memperoleh dan mengorganisasikan pengalamannya.
Penjelasan tersebut melekat kuat aspek sosiologisnya. Sementara dari segi paedagogisnya, bahwa seluruh individu dan masyarakat dari anak-anak sampai orang dewasa, kelompok-kelompok sosial dan proses-proses sosialnya, berlangsung di seputar sistem pendidikan yang selalu bergerak dinamis.

B. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Masalah-masalah yang diselidiki sosiologi pendidikan antara lain meliputi pokok-pokok berikut ini.
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat
a. Hubungan pendidikan dengan sistem sosial atau struktur sosial,
b. Hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan,
c. Fungsi pendidikan dalam kebudayaan,
d. Fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo, dan
e. Fungsi sistem pendidikan formal bertalian dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya.
2. Hubungan antarmanusia di dalam sekolah Lingkup ini lebih condong menganalisis struktur sosial di dalam sekolah yang memiliki karakter berbeda dengan relasi sosial di dalam masyarakat luar sekolah, antara lain yaitu:
a. Hakikat kebudayaan sekolah sejauh ada perbedaannya dengan kebudayaan di luar sekolah, dan
b. Pola interaksi sosial dan struktur masyarakat sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan kekuasaan, stratifikasi sosial dan pola kepemimpinan informal sebagai terdapat dalam clique serta kelompok-kelompok murid lainnya.
3. Pengaruh sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di sekolah/lembaga pendidikan
a. Peranan sosial guru-guru/tenaga pendidikan,
b. Hakikat kepribadian guru/ tenaga pendidikan,
c. Pengaruh kepribadian guru/tenaga kependidikan terhadap kelakuan anak/peserta didik, dan
d. Fungsi sekolah/lembaga pendidikan dalam sosialisasi murid/peserta didik.
4. Lembaga Pendidikan dalam masyarakat Di sini dianalisis pola-pola interaksi antara sekolah/ lembaga pendidikan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam masyarakat di sekitar sekolah/lembaga pendidikan.
Hal yang termasuk dalam wilayah itu antara lain yaitu :
a. Pengaruh masyarakat atas organisasi sekolah/lembaga pendidikan,
b. Analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistemsistem sosial dalam masyarakat luar sekolah,
c. Hubungan antarsekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan, dan
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat berkaitan dengan organisasi sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam keseluruhan kehidupan masyarakat.

B. PERANAN SOSIOLOGI TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
Dalam pengertian sederhana, sosiologi pendidikan memuat analisis-analisis ilmiah tentang proses interaksi sosial yang terkait dengan aktivitas pendidikan baik dari lingkup keluarga, kehidupan sosio-kultur masyarakat maupun pada taraf konstelasi di tingkat nasional. Sehingga dari sini bisa di dapat sebuah gambaran objektif tentang relasi-relasi sosial yang menyusun konstruksi total realitas pendidikan di negara kita. Sampai pada pemahaman tersebut segala bentuk wawasan dan pengetahuan sosiologis guna membedah tubuh pendidikan kita menjadi perlu untuk dibahas agar proses-proses pengajaran tidak bias ke arah yang kurang relevan dengan kebutuhan bangsa.
Di sisi lain, jika perhatian kita tertuju pada lembaran sejarah perkembangan pendidikan masyarakat Indonesia, produk kemajuan sosial, meningkatnya taraf hidup rakyat, akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapan inovasi teknologi merupakan bagian dari prestasi gemilang hasil jerih payah lembaga pendidikan kita dalam upaya memajukan kehidupan bangsa Indonesia. Meningkatnya jumlah kaum terpelajar telah menjadi bahan bakar lajunya lokomotif kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Akan tetapi, beberapa kendala yang melingkari dunia pendidikan dalam kaitan dengan menurunnya kualitas output pendidikan kita menjadi bukti bahwa wajah persekolahan kita memerlukan banyak perbaikan. Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi eksistensi dan keberlangsungan pendidikan di negara kita maka topik ini akan mengarahkan lingkup kajian sosiologisnya kepada hakikat peran dan fungsi lembaga sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Tiga sub-judul berikutnya akan menindaklanjuti fokus pembahasan dengan titik tekan yang lebih spesifik. Pada sub-judul pertama, banyak digali tentang hubungan-hubungan sosial di dunia pendidikan dalam wadah organisasi formal. Di sini kriteria sekolah sebagai salah satu wujud organisasi formal ditinjau dari kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses mencapai tujuan pendidikan. Pada sub judul kedua lebih menyoroti konteks transaksi pendidikan di ruang kelas. Hal ini ditekankan, sebab ruang kelas merupakan representasi dari proses-proses pendidikan yang sesungguhnya, karena di dalamnya telah melibatkan komponen-komponen belajar mengajar secara langsung. Sedangkan pada sub judul yang ketiga, tinjauannya bertolak dari kenyataan bahwa sekolah tidak bisa lepas dari hubungan wadah eksternalnya. Kondisi sosio-kultur masyarakat tidak bisa tidak merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap proses-proses pendidikan di sekolah.
Tiga batasan tinjauan di atas akan dipaparkan sebagai upaya untuk menyajikan beberapa manfaat analisis sosiologis terhadap dunia pendidikan.

A. Sekolah sebagai Organisasi
Tempo dulu masyarakat sederhana belum mengenal lembaga- lembaga resmi yang mengatur penyaluran kebutuhankebutuhan hidup mereka. Contohnya masyarakat Indian yang tidak perlu meminta bantuan lembaga sekolah untuk mengajarkan kepandaian memanah kepada generasi penerusnya. Bagi mereka, cukup dengan uluran tangan dari para ayah dan saudara tuanya maka bisa dipastikan hampir seluruh remaja-remaja muda mampu menguasai teknik memanah dari tingkat dasar sampai kategori mahir (Horton dan Hunt, 1999: 333). Seiring dengan bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks, sehingga pada fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan–kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu arah kehidupan di masa yang akan datang.
Beberapa faktor telah melatar belakangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola alokasi pemenuhan kebutuhan di antaranya, (1) pertumbuhan jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat penguasaan dan ketersediaan sumber daya alam, (2) kompleksnya pranata kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi terapan, dan (3) implikasi tingkat akal budi dan mentalitas manusia yang kian rasional. Secara singkat, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganisasikan perangkat perangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan ditangani secara langsung oleh masing-masing keluarga. Perlunya pihak lain yang secara khusus mengurusi organisasi dan apresiasi pengetahuan serta mengupayakan untuk ditransformasikan kepada para generasi muda agar terjamin kelestariaannya merupakan cetak biru kekuatan yang melatarbelakangi berdirinya sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Walaupun wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara, keberadaan sekolah merupakan salah satu indikasi terwujudnya masyarakat modern. Dalam hal ini para sosiolog telah melakukan ikhtiar ilmiah untuk menentukan taraf evolusi perkembangan masyarakat manusia. Dimulai dari Auguste Comte (1798-1857) dengan karyanya yang berjudul Course de philosophie Positive (1844). Beliau menekankan hukum perkembangan masyarakat yang terdiri dari tiga jenjang, yaitu jenjang teologi di mana manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal yang bersifat adikodrati. Taraf perkembangan selanjutnya disusul pencapaian manifestasi kemampuan manusia untuk menangkap fenomena lingkungan dengan menyandarkan pada kekuatan-kekuatan metafisik atau abstrak. Hingga pada level tertinggi, taraf positif. Iklim kehidupan demikian ditandai dengan prestasi kemampuan manusia untuk menjelaskan gejala alam maupun sosial berdasar pada deskripsi ilmiah melalui pemahaman kekuasaan hukum objektif (Sunarto, 2000 : 3).
Dari pengertian tersebut perwujudan manusia positivis hanya mampu ditopang oleh orientasi pendidikan yang sudah terlembaga secara mantap melalui aplikasi fungsi sekolah-sekolah modern. Di lain pihak, tak kalah pentingnya buah pikiran Emile Durkheim (1858-1912) berupa buku yang berjudul The Division of Labour in Society (1968) juga menganalisis kecenderungan masyarakat maju yang di dalamnya terdapat pembagian kerja dalam pemetaan bidang-bidang ekonomi, hukum, politik pendidikan, kesenian dan bahkan keluarga. Gejala tersebut merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi industri yang di dalamnya memerlukan memerlukan spesialisasi peran untuk mengusung keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup para anggotanya (Johson, 1986 : 181-184).
Sekali lagi ilustrasi di atas hanya dapat tercermin pada konteks organisasi lembaga pendidikan yang telah mampu memproduk manusia profesional dengan spesifikasi keahlian. Sedangkan untuk mewujudkan figur-figur manusia itu hanya mampu dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern.
Dari kedua pernyataan ilmiah para tokoh sosiologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan sekolah yang mewarnai dunia kehidupan manusia saat ini merupakan sebuah keniscayaan peradaban modern yang lekat dengan renik-renik pergulatan ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi mutakhir. Sementara melihat konteks sosial yang terbentuk dapat dijawab pula sekolah juga masuk dalam kategori-kategori organisasi pada umumnya yang mengemban konsekuensi-konsekuensi organisatoris. Oleh karena itu keberadaan sekolah patut dimasukkan sebagai salah satu organisasi yang memanfaatkan mekanisme birokratis dalam mengelola kerja-kerja institusinya. Beberapa prinsip penerapan birokrasi juga terdapat dalam lembaga sekolah antara lain:
1. Aturan dan prosedur yang ketat melalui birokrasi,
2. Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda,
3. Pelaksanaan adminstrasi secara professional,
4. Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara bertanggung jawab,
5. Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
6. Pengembangan hubungan yang bersifa formal dan impersonal (Robinson, 1981: 241).

Sekolah memang tidak menggunakan semua ketentuanketentuan di atas secara ketat dan linear. Kaitan dengan hal tersebut, Bidwell ,1965 (dalam Robinson, 1981). berpendapat bahwa sekolah mempunyai ciri “struktur yang longgar”. Yang dimaksud dengan kelonggaran struktural oleh Bidwell adalah prasyarat prasyarat mutlak dari kekuatan-kekuatan struktural tidak harus dilaksanakan sepenuhnya oleh guru dalam menerapkan metode belajar-mengajar kepada para siswanya. Tiap guru mempunyai kebebasan tertentu untuk menentukan bagaimana ia mengajar di kelas, walaupun perangkat-perangkat materinya telah ditentukan oleh kurikulum di atasnya Masih dalam lingkup sekolah sebagai organisasi formal, beberapa ahli telah menyajikan pranata-pranata manajemen yang berbeda-beda dalam menerapkan fungsi manajemen di sekolah (Robinson, 1981). Di antaranya adalah sebagai berikut.

1.    Manajemen Ilmiah
Pokok-pokok dari manajemen ilimiah antara lain:
- Menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan tepat,
- Menganalisis dan membandingkan proses-proses yang telah dicapai, dan
- Menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verifikasi serta menggunakannya sebagai kriteria tunggal Implikasinya jelas, penerapan kriteria tunggal bagi sekolah demi mencapai maksimalisasi hasil-hasil belajar secara efisien dan efektif. Tampak jelas jenis manajemen ini berkarakter mekanistis, ketat, mengutamakan hasil kuantitatif, serta cenderung mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di dalam prosesnya.
2.    Sistem Sosio-teknis
Sebagai sistem sosio-teknis, sekolah mencakup banyak hal yang menjadi input organisasi, namun stafnya akan “mengetahui” sifat input-inputnya. Dengan begitu sekolah dapat menentukan instrumen-instrumen pengolahan demi menjamin hasil yang optimal. Sampai di sini definisi sosio-teknis memberikan titik tekan pada pengamatan dan pengelompokan jenis-jenis masukan dalam sekolah lalu ditindaklanjuti dengan cara-cara yang relevan dengan “bahan mentah” tersebut. Manajemen sosio-teknis masih menggunakan prinsip manajemen formal, sehingga beberapa unsur yang melekat pada prinsip manajemen ilmiah juga dimiliki
oleh sistem sosio-teknis.
3. Pendekatan Sistemik
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah bentuk teori sistem. Ciri kahs pendekatan ini adalah pengakuan adanya bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada keseluruhan. Hubungan timbal balik itu mengisyaratkan detail bagian yang cukup kompleks dan proses interaksi secara keseluruhan dalam sebuah organisasi. Implikasi lain, batas-batas antarbagian harus diketahui dengan tegas dalam mengidentifikasi komponen-komponen lembaga sekolah . Secara internal model teori sistem, mengadopsi penanganan lembaga formal pada umumnya untuk menggerakkan roda organisasi. Akan tetapi pendekatan ini juga memperhatikan sistem sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah berusaha pula menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri setempat, pendapat profesional dan kebijaksanaan pendidikan.
4. Pendekatan Individual
Baik pendekatan manajemen maupun pendekatan sistem cenderung “membendakan” organisasi. Organisasi dipandang seakan-akan seperti makhluk besar yang mengatasi dan mengecilkan peran anggota-anggotanya (terutama para murid). Sebagai antitesisnya, maka pendekatan individual mengakomodasi nilainilai kemanusiaan dalam organisasi. Akan tetapi pada perkembangannya pendekatan individual memiliki dua keompok pandangan yakni:

a. Teori Pasif
Pandangan yang menekankan pengamatan input pendidikan secara kolektif. Di mana sudut terpenting yang harus diperhatikan oleh sekolah adalah proses kematangan pribadi para siswa yang harus difasilitasi, diakomodasi kebutuhannya dan dibimbing menuju kedewasaan. Oleh karena itu, proporsi organisasi sekolah yang cenderung mekanistis harus dipola menjadi flksibel agar para anggotanya bisa berekspresi dengan optimal (Robinson, 1981: 252).

b. Teori Aktif
Konstruksi pendekatan yang mengutamakan kemampuan aktif para siswa untuk menginterpretasikan makna-makna normatif dan tindakan-tindakan yang diharapkan berdasarkan iklim kesadaran mereka. Menurut Silverman (1970) proses sosialisasi di sekolah bukanlah imperatif-imperatif moral yang memaksa akan tetapi justru sekolah menjadi “pembantu” para siswa dalam mendokumentasi dan memantapkan makna-makna kehidupan yang didapat oleh mereka sendiri. Pendekatan ini sangat kental dengan pengaruh aliran fenomenologis dalam sosiologi. Oleh karena itu teori aktif bermaksud menekankan makna-makna tafsiran budaya yang didapat oleh individu-individu di dalam mempersepsikan fungsi sekolah bagi mereka (Robinson, 1981 : 254).
Berbagai pandangan di atas telah menandaskan aspek-aspek penting yang berperan dan berinteraksi di dalam sekolah. Pada kenyataannya seluruh konsep manajemen yang ditekankan oleh masing-masing ahli tersebut selalu tercantum di dalam sekolah. Tentunya fungsionalisasi masing-masing model manajemen di atas tergantung pada konteks pandangan manusia yang mengamatinya. Apabila pada aspek makro maka dominasi gabungan fungsi manajemen sistem, sosio-teknis dan ilmiah lebih berperan penting dalam membantu kerja penglihatan intelektual kita. Berbeda pada dimensi yang lebih mikro, maka tipe ideal pendekatan individual adalah aspek yang harus diperhatikan dalam menelah unsur-unsur yang bermain di dalam sekolah.
Dalam hal ini kita akan lebih condong mengamati organisasi sekolah dalam skala makronya. Analisis sosial yang muncul seputar sekolah banyak mengupas konflik-konflik antar peranan yang terjadi di lembaga sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Davies, 1973 ( dalam Robinson, 1981 : 250) bahwa lembaga pendidikan sering dirasuki oleh nilai-nilai yang terkadang bertentangan antarpihak baik dari para guru, orang tua, staf birokrat, siswa, maupun pihak aparat pimpinan sekolah.
Dari sini analisis yang bisa disajikan untuk mengamati keberadaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas pendidikannya terbagi menjadi dua lahan persoalan yakni:

1.        Penafisiran multi-konsep tentang tujuan organisasi beserta alokasi peran yang sinergis
Sudah menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk menetapkan tujuan lembaga. Berbeda dengan organisasi pada umumnya, sekolah memiliki ciri khas yang agak unik, khususnya dari objek yang menjadi tujuannya. Dengan menetapkan posisi peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali peserta didik seperangkat pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah mengumandangkan jenis tujuan yang bersifat abstrak. Hal ini tentu saja berbeda dengan lembaga lain yang jelas-jelas memiliki objek tujuan konkrit. Contohnya lembaga perusahaan, tentunya bagi siapa saja akan jelas memahami arti “mencari keuntungan maksimal” bagi perusahaan. Baik itu manajer pemasaran, direktur pabrik, buruh angkutan, sopir, sampai tenaga administrasi akan jelas mengartikan definisi tujuan tersebut. Sementara sekolah memiliki tujuan yang bersifat multi-penafsiran dan agak kabur. Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak penafsiran para praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk menyatukan pemahaman makna tujuan pendidikan antar posisi.
Berdasarkan struktur organisasi yang terbentuk, guru bertugas sebagai pelaksana pengajaran kepada siswa, supervisor berfungsi membina para guru dan tugas formal administratur sekolah ialah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sekolah. Masing-masing pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungan dengan posisi lain. Sudah tentu kompleksitas peranan menimbulkan nilai sosial yang berbeda-beda dan apabila ditarik dalam suatu prospek tujuan maka akan melibatkan bermacam-macam penafsiran. Selain objek tujuan yang sarat nilai, posisi-posisi peran yang cukup kompleks di lingkup internal, maka sebuah sekolah akan berhadapan langsung dengan komponen nilai-nilai lain di luar lingkungannya. Spesifikasi tujuan yang telah ditetapkan oleh sekolah ternyata harus bersinggungan erat dengan alokasi peran pendidikan di luar sekolah, terutama keluarga.
Berkaitan dengan hal tersebut, suatu observasi ilmiah yang dilakukan oleh Universitas Havard telah menunjukkan hasil yang cukup dramatis. Setelah diteliti, para guru di sekolah-sekolah New England memiliki pandangan yang berbeda tentang tujuan pendidikan, begitu juga antar guru dengan kepala sekolahnya, selain itu indikasi serupa ditunjukkan perbedaan nilai antar administratur dengan Badan Pertimbangan Sekolah. Lebih jauh bukti penelitian juga menunjukkan sumber utama yang melahirkan konflik di kalangan praktisi sosial tentang tujuan dan program-program sekolah (Faisal, 1985: 69).
Dipandang dari sudut tujuannya ternyata lembaga sekolah harus melakukan bermacam-macam proses penyatuan pandangan baik dari wilayah internal maupun asumsi-asumsi publik di lingkup eksternal. Telaah sosiologis telah memberikan sumbangan konseptual untuk membedah objek tujuan sekolah dalam pola pola hubungannya dengan pihak internal maupun luar lembaga
sekolah.

2. Kompleks permasalahan di sekitar orientasi lintas posisi dalam koridor efisiensi dan efektivitas
Kompleks pertentangan tersebut merupakan derivasi dari perangkat-perangkat manusia yang memiliki peran-peran spesifik di lembaga sekolah. Banyak buku teks yang mengemukakan tentang peranan guru dan adminsitratur pendidikan seolah-olah harmonis dan serba sinergis. Padahal kenyataan membuktikan, salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status pekerjaannya. Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab dan tugas sekolah yang berhubungan dengan siswa selalu dilimpahkan kepada seorang guru. Sedangkan pemberitaan fungsifungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan konseling, pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban dan kedisplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para siswa.
Dalam analisis sosiologis, konflik peranan di lingkup internal sekolah disebabkan pada rangkaian hak dan kewajiban yang mempengaruhi harapan para pemegang status pekerjaan. Ruangruang
kesadaran peran tersebut telah terpecah belah pada akumulasi integrasi yang terkotak-kotak pada masing-masing kelompok pekerjaan. Dalam waktu yang sama kepala sekolah mengharapkan para guru selalu tertib dalam melaksanakan pengajaran. Sementara guru sendiri selalu berkeinginan memberikan ragam materi yang selengkap-lengkapnya kepada para siswa. Hal ini tentu bertentangan dengan asumsi umum para siswa yang jelas-jelas berharap agar para guru tidak terlalu banyak menyodorkan materi yang harus mereka hafalkan. Hal tersebut tentunya semakin menjauhkan kesadaran warga sekolah mengenai hakikat mendasar dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan. Mereka semakin jauh terjerumus pada labirin-labirin pertentangan seputar ritual-ritual teknis pemenuhan kebutuhan organisasional. Dari sini tujuan awal penerapan adminstrasi pendidikan untuk mempermudah lembaga sekolah dalam menjalankan fungsi-fungsi edukatif beralih menjadi raksasa permasalahan yang selalu menggelayuti mentalitas warganya. Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori sosiologi cukup strategis guna memberikan gambaran komperhensif tentang gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan pertentangan antarperan. Dengan begitu, para praktisi pendidikan diharapkan memiliki bahan mentah yang lengkap mengenai polapola sosial yang tersusun di dunia pendidikan formal beserta varian-varian permasalahannya.

B. Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati sub-topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas. Dimulai dari pengamatan Parson yang mengetengahkan argumentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Berkaitan dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat (Robinson, 1981 : 127).
Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh seperti Delamont, Lewin, Lippit, White dan H.H. Anderson adalah figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antarguru dan murid. Selaras dengan hal tersebut, Withall, 1949, yang memanfaatkan karya-karya pendahulunya mencoba menemukan pengaruh situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara metode pengajaran yang cenderung teacher-centred dengan tipologi pembelajaran Learner-centred, dengan beranggapan bahwa tipe yang kedua merupakan cara yang paling efektif untuk kegiatan
pembelajaran di kelas (Robinson, 1981 : 129).
Dalam satu rangkaian penelitian Flanders,1967 memperkuat studi tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya, semakin besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan strategi-strategi belajarnya sendiri (Robinson, 1981 : 130).
Inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh psikologisnya kepada para siswa. Hal ini terkait erat dengan metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk menangkap segala hal yang terpola di dalam aktivitas ruang kelas.
Yang termasuk hasil penelitian di lingkup kategori interpretatif adalah analisis Waller. Bagi Waller, pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan kontrol sosial (Robinson, 1981: 135). Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang fungsi sekolah yang mempengaruhi alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen mengamalkan kriteria-kriteria penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah.
Analisis lain juga mengungkap bahwa sumber ketegangan antarguru dan siswa berasal dari dualisme ketegangan peran guru di dalam kelas. Sebagai bawahan kepala sekolah seorang guru harus menerapkan ketentuan administratif sekolah secara ketat kepada murid-murid, namun di lain pihak tanggung jawab moral sebagai pendidik yang sarat dengan kebijaksanaan akan menghalanghalangi penerapan sanksi kepada siswa tersebut.
Sebagai sistem sosial tentunya di dalam kelas telah terbentuk konfigurasi sosial di dunia pergaulan siswa. Dari sini tampak konsep diferensiasi mengacu pada praktik organisasi penentuan penghuni kelas berdasarkan prestasi-prestasi siswa. Tentunya implikasi dari pengelompokan ini akan berakibat terbentuknya polarisasi antarkelompok. Baik itu kelompok si bodoh, si kaya, si pandai, dan si pemalu. Apabila guru mengetahui fakta tersebut dan mampu mengelola interaksi antarkelompok maka proses penangkapan pengetahuan menjadi semakin dinamis dan cukup kaya. Sebaliknya apabila guru cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian justru semakin mempertegas potensi disintegrasi antarsiswa. Pada umumnya guru secara gegabah juga dengan mudah menuruti subjektifitas perasaannya untuk menuruti kelompok-kelompok siswa yang menyenangkan perasaannya. Sekali lagi jika hal terakhir yang terjadi maka kecemburuan sosial malah menjadi iklim pergulatan sosial di lingkungan kelas.
Patut ditambahkan, analisis sosiologis juga mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap seseorang dengan latar belakang kelompok aspirasi yang digandrunginya. Kelompok-kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan di dalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya dari hasil analisis di atas, dapat memberikan wawasan sosiologi kelas kepada pengajar agar proses pendidikan dan pembinaan siswa lebih efektif (Faisal dan Yasik, 1985 : 76).

C. Lingkungan Eksternal Sekolah
Kita tahu bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah eksternal yang dihuni oleh kumpulan manusia bernama masyarakat. Gejala timbal balik baik dari sekolah kepada masyarakat maupun sebaliknya merupakan realitas keseharian yang akan selalu terjadi. Keberadaan sekolah di lingkungan masyarakat kota akan jelas mempengaruhi orientasi pendidikan tersebut dibanding dengan sekolah yang terletak di lereng gunung. Baik dari segi kuantitas peserta didik, maupun kompleksitas kegiatan yang terjadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di sekolah. Tentunya tidak mungkin, sekolah ”lereng gunung” mengembangkan ekstrakulikuler yang luar biasa padat dan wajib diikuti oleh seluruh siswa.
Selain itu aspek kelas sosial juga memberikan pengaruh evaluasi belajar yang dilakukan oleh seorang guru. Hasil sebuah pengamatan ilmiah menegaskan ada hubungan kuat antara status orang tua siswa dengan prestasi akademis. Selain itu mobilitas aspirasi siswa, kecenderungan putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, tingkah laku pacaran siswa serta pola persahabatan di kalanngan siswa tampaknya juga dipengaruhi oleh karakter sosial ekonomis orang tua siswa (Faisal dan Yasik, 1985 : 77).
Kontribusi berikutnya adalah benturan konflik antarperan tenaga kependidikan dengan posisi-posisi lain di masyarakat. Getzel dan Guba menemukan bahwa banyak harapan-harapan yang terkait dengan posisi guru, pada kenyataannya telah berbenturan dengan harapan posisi lain di luar persekolahan (Faisal dan Yasik, 1985 : 79). Dampak dari konflik ini kadang mengganggu stabilitas individu atau bisa jadi dapat meluas pada segi-segi materiil di lingkungan sekolah.
Seorang guru olah raga yang sedang menjadi wasit pertandingan sepak bola antar-kecamatan tentunya akan menghadapi tuntutan masyarakat mengenai kemungkinan diizinkannya penggunaan fasilitas sekolah. Akan tetapi dua hari yang lalu sang guru tersebut baru saja mendapat himbauan keras dari kepala sekolah agar berhati-hati dalam menjaga perlengkapan olah raga milik sekolah. Peringatan tersebut bukan tak beralasan, akan tetapi didukung sebuah fakta tentang peristiwa kehilangan beberapa peralatan seminggu yang lalu. Fenomena tersebut jelas menyokong suatu posisi bahwa konflik antarperanan di dalam sekolah dengan lingkungan eksternal merupakan sumber potensial utama dari lahirnya ketegangan di kalangan praktisi pendidikan, khususnya guru.
Melalaui analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara realistis peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan kekuatan analisis-analisis sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing.

**berbagai Sumber