Munculnya fungsionalisme-(struktural) sebagai paradigma
yang membukakan pintu pemahaman baru terhadap gejala sosial-budaya telah
membuat peristiwa ini dikatakan sebagai revolusi dalam antropologi (Jarvie,
1964). Asumsi dasarnya adalah bahwa
segala sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang menjelaskan
keberadaannya. Termasuk di dalamnya keberadaan unsur kebudayaan (Montagu,
1974). Model yang digunakan adalah model organisme (Radcliffe-Brown 1952) atau
model mesin. Namun, berbeda dengan kaum evolusionis -yang juga menggunakan
model organisme-, kaum fungsionalis tidak berupaya merekonstruksi tahap-tahap
evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui
fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi suatu organ dalam
organisme. Dengan paradigma ini,
perhatian peneliti tidak lagi ditujukan pada upaya mengetahui asal-usul suatu
pranata atau unsur budaya tertentu, tetapi pada fungsinya dalam konteks
kehidupan masyarakat atau kebudayaan tertentu. Suatu unsur kebudayaan yang
berasal dari masa lampau tidak lagi dilihat sebagai sisa-sisa budaya lama,
tetapi sebagai unsur budaya yang tetap aktual dalam masyarakat, karena
mempunyai fungsi tertentu.
Revolusi yang
terjadi karena lahirnya fungsionalisme-(struktural) berlangsung tidak hanya
pada tataran penjelasan (explanation),
tetapi juga pada tataran metode penelitian dan penulisan etnografi, dan
keduanya dilakukan oleh Malinowski. Malinowskilah yang memulai penelitian
lapangan dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun), dan betul-betul hidup
di tengah masyarakat yang diteliti, serta mempelajari bahasa mereka (lihat
Malinowski, 1961). Metode penelitian seperti inilah yang kini dikenal sebagai
metode observasi partisipasi (participant
observation) dan menjadi salah satu “trademark“
antropologi. Paradigma fungsionalisme-(struktural) memang menuntut penelitian
seperti itu. Tanpa penelitian lapangan yang lama dan mendalam, seorang peneliti
akan sulit mengetahui dan memahami saling keterkaitan fungsional unsur-unsur
budaya masyarakat yang diteliti.
Selanjutnya
pemahaman fungsionalistis tentang masyarakat dan kebudayaan itu harus
dituangkan dalam bentuk etnografi. Di sini diperlukan siasat penulisan tertentu
yang dapat menampilkan kebudayaan sebagai suatu kesatuan dari unsur-unsur yang
berhubungan satu sama lain secara fungsional. Malinowskilah setahu saya yang
memulai genre penulisan etnografi semacam ini melalui bukunya The Argonauts of the Western Pacific (1961),
yang kemudian dikenal sebagai etnografi holistik. Tidak setiap ahli antropologi
mampu menulis etnografi seperti ini. Diperlukan penelitian lapangan yang lama
dan intensif, serta kesadaran yang kuat pada diri penulis mengenai citra
kebudayaan yang dapat dihasilkan lewat penulisan etnografi dengan siasat
tertentu. Di sini seorang ahli antropologi memang perlu menjadi seorang
sastrawan.
Berkat kiprah
Malinowski dan Radcliffe-Brown serta murid-murid mereka, paradigma fungsional-(struktural)
kemudian menjadi salah satu paradigma yang mendominasi ilmu-ilmu sosial di
Barat di tahun 1940-1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai
gejala sosial-budaya bermunculan di era tersebut, seperti misalnya teori
tentang fungsi kebudayaan, fungsi mitos, fungsi rituil, fungsi sistem
kekerabatan, fungsi sistem politik, fungsi simbol dan sebagainya (lihat,
Malinowski, 1954; Radcliffe-Brown, 1952; Gluckman, 1973; Leach, 1954).
Paradigma fungsionalisme-(struktural) ini kemudian menyebar ke cabang-cabang
ilmu sosial yang lain, terutama sosiologi dan politik. Dalam sosiologi, fungsionalisme dengan corak yang lebih teoritis menjadi
lebih dominan berkat kehadiran Talcott Parsons, Robert Merton, Lewis Coser dan
sebagainya (Turner dan Maryanski, 1979) yang begitu tekun mengembangkan
paradigma tersebut
Seperti halnya
dua paradigma sebelumnya, paradigma fungsionalisme-(struktural), juga tidak
terhindar dari kritik. Dalam pandangan sejumlah ilmuwan sosial, paradigma ini
dianggap tidak dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena perubahan
masyarakat dan kebudayaan karena selalu menekankan pada hubungan fungsi-nal
antarunsur dan keseimbangan sistem (Buckley, 1967). Dari perspektif politis
paradigma tersebut dituduh sebagai “ideologi ilmiah“ dari kaum yang mapan, yang
anti-perubahan (Sztompka, 1974). Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh para
penganutnya untuk menangkis kritik tersebut (lihat Cancian, 1960; Coser, 1956;
Fallding, 1963; Stzompka, 1974). Mereka berupaya membangun paradigma
fungsionalisme yang lebih dinamis, yang dapat memasukkan unsur konflik serta
perubahan dalam kajian fungsional-(struktural) (lihat Bailey, 1984; Berrin,
1973; Cole, 1966; Gluckman, 1973; Leach, 1954). Namun, upaya-upaya ini tidak
sepenuhnya dianggap berhasil. Tidak-dapat-digunakannya paradigma
fungsionalisme-(struktural) untuk menganalisis perubahan sosial-budaya
dipandang sebagai kelemahan serius oleh banyak ilmuwan, dan ini telah membuat
popularitas paradigma tersebut memudar, walaupun tidak mati (lihat Eisenstadt,
1990).
Seiring dengan
munculnya kritik terhadap paradigma fungsionalisme-(struktural), arus kritik
terhadap filsafat positivisme dalam ilmu sosial-budaya juga semakin menguat.
Pengaruh filsafat ini dipandang telah membuat paradigma
fungsionalisme-(struktural) kurang dapat mengungkap aspek maknawi dari
kehidupan manusia. Sejumlah ahli antropologi kemudian mempertanyakan ketepatan
paradigma itu untuk memahami gejala sosial-budaya sebagai gejala simbolik.
MAKASIHHHH :)
BalasHapusTerima kasih atas tulisan yg bermanfaat sekali untuk saya ini :)
BalasHapusSaya suka bahasa Anda. Ringan dan cepat dimengerti.
Semangat untuk tulisan2 berikutnya! :D
thanks bangeet,,,, blog anda sangat bermanfaat,,, isinya memberikan penyegaran baru bagi pengetahuan,,,,, :)
BalasHapus