Daftar Blog Saya

Rabu, 06 Maret 2013

teori antropologi : struktural fungsional

Munculnya fungsionalisme-(struktural) sebagai paradigma yang membukakan pintu pemahaman baru terhadap gejala sosial-budaya telah membuat peristiwa ini dikatakan sebagai revolusi dalam antropologi (Jarvie, 1964). Asumsi dasarnya adalah bahwa segala sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang menjelaskan keberadaannya. Termasuk di dalamnya keberadaan unsur kebudayaan (Montagu, 1974). Model yang digunakan adalah model organisme (Radcliffe-Brown 1952) atau model mesin. Namun, berbeda dengan kaum evolusionis -yang juga menggunakan model organisme-, kaum fungsionalis tidak berupaya merekonstruksi tahap-tahap evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi suatu organ dalam organisme. Dengan paradigma ini, perhatian peneliti tidak lagi ditujukan pada upaya mengetahui asal-usul suatu pranata atau unsur budaya tertentu, tetapi pada fungsinya dalam konteks kehidupan masyarakat atau kebudayaan tertentu. Suatu unsur kebudayaan yang berasal dari masa lampau tidak lagi dilihat sebagai sisa-sisa budaya lama, tetapi sebagai unsur budaya yang tetap aktual dalam masyarakat, karena mempunyai fungsi tertentu.
     Revolusi yang terjadi karena lahirnya fungsionalisme-(struktural) berlangsung tidak hanya pada tataran penjelasan (explanation), tetapi juga pada tataran metode penelitian dan penulisan etnografi, dan keduanya dilakukan oleh Malinowski. Malinowskilah yang memulai penelitian lapangan dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun), dan betul-betul hidup di tengah masyarakat yang diteliti, serta mempelajari bahasa mereka (lihat Malinowski, 1961). Metode penelitian seperti inilah yang kini dikenal sebagai metode observasi partisipasi (participant observation) dan menjadi salah satu “trademark“ antropologi. Paradigma fungsionalisme-(struktural) memang menuntut penelitian seperti itu. Tanpa penelitian lapangan yang lama dan mendalam, seorang peneliti akan sulit mengetahui dan memahami saling keterkaitan fungsional unsur-unsur budaya masyarakat yang diteliti.
     Selanjutnya pemahaman fungsionalistis tentang masyarakat dan kebudayaan itu harus dituangkan dalam bentuk etnografi. Di sini diperlukan siasat penulisan tertentu yang dapat menampilkan kebudayaan sebagai suatu kesatuan dari unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain secara fungsional. Malinowskilah setahu saya yang memulai genre penulisan etnografi semacam ini melalui bukunya The Argonauts of the Western Pacific (1961), yang kemudian dikenal sebagai etnografi holistik. Tidak setiap ahli antropologi mampu menulis etnografi seperti ini. Diperlukan penelitian lapangan yang lama dan intensif, serta kesadaran yang kuat pada diri penulis mengenai citra kebudayaan yang dapat dihasilkan lewat penulisan etnografi dengan siasat tertentu. Di sini seorang ahli antropologi memang perlu menjadi seorang sastrawan.
     Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brown serta murid-murid mereka, paradigma fungsional-(struktural) kemudian menjadi salah satu paradigma yang mendominasi ilmu-ilmu sosial di Barat di tahun 1940-1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala sosial-budaya bermunculan di era tersebut, seperti misalnya teori tentang fungsi kebudayaan, fungsi mitos, fungsi rituil, fungsi sistem kekerabatan, fungsi sistem politik, fungsi simbol dan sebagainya (lihat, Malinowski, 1954; Radcliffe-Brown, 1952; Gluckman, 1973; Leach, 1954). Paradigma fungsionalisme-(struktural) ini kemudian menyebar ke cabang-cabang ilmu sosial yang lain, terutama sosiologi dan politik. Dalam sosiologi, fungsionalisme dengan corak yang lebih teoritis menjadi lebih dominan berkat kehadiran Talcott Parsons, Robert Merton, Lewis Coser dan sebagainya (Turner dan Maryanski, 1979) yang begitu tekun mengembangkan paradigma tersebut
     Seperti halnya dua paradigma sebelumnya, paradigma fungsionalisme-(struktural), juga tidak terhindar dari kritik. Dalam pandangan sejumlah ilmuwan sosial, paradigma ini dianggap tidak dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena perubahan masyarakat dan kebudayaan karena selalu menekankan pada hubungan fungsi-nal antarunsur dan keseimbangan sistem (Buckley, 1967). Dari perspektif politis paradigma tersebut dituduh sebagai “ideologi ilmiah“ dari kaum yang mapan, yang anti-perubahan (Sztompka, 1974). Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh para penganutnya untuk menangkis kritik tersebut (lihat Cancian, 1960; Coser, 1956; Fallding, 1963; Stzompka, 1974). Mereka berupaya membangun paradigma fungsionalisme yang lebih dinamis, yang dapat memasukkan unsur konflik serta perubahan dalam kajian fungsional-(struktural) (lihat Bailey, 1984; Berrin, 1973; Cole, 1966; Gluckman, 1973; Leach, 1954). Namun, upaya-upaya ini tidak sepenuhnya dianggap berhasil. Tidak-dapat-digunakannya paradigma fungsionalisme-(struktural) untuk menganalisis perubahan sosial-budaya dipandang sebagai kelemahan serius oleh banyak ilmuwan, dan ini telah membuat popularitas paradigma tersebut memudar, walaupun tidak mati (lihat Eisenstadt, 1990).
     Seiring dengan munculnya kritik terhadap paradigma fungsionalisme-(struktural), arus kritik terhadap filsafat positivisme dalam ilmu sosial-budaya juga semakin menguat. Pengaruh filsafat ini dipandang telah membuat paradigma fungsionalisme-(struktural) kurang dapat mengungkap aspek maknawi dari kehidupan manusia. Sejumlah ahli antropologi kemudian mempertanyakan ketepatan paradigma itu untuk memahami gejala sosial-budaya sebagai gejala simbolik.

3 komentar:

  1. Terima kasih atas tulisan yg bermanfaat sekali untuk saya ini :)
    Saya suka bahasa Anda. Ringan dan cepat dimengerti.
    Semangat untuk tulisan2 berikutnya! :D

    BalasHapus
  2. thanks bangeet,,,, blog anda sangat bermanfaat,,, isinya memberikan penyegaran baru bagi pengetahuan,,,,, :)

    BalasHapus